Benar saja mitos yang sering terdengar di gunung merapi. Terbukti dengan sangat jelas. Mitos yang konon katanya di gunung merapi matahari akan terbit dari timur. Mitos itu terbayar dengan tuntas, saat telihat jelas guratan orange di ufuk timur. Cahaya indah itu perlahan menghapus sang hitam. Dan membawa cahaya untuk bumi yang sudah lama di selimuti oleh malam.
Aku terbangun sebelum mitos itu terjadi. Badanku masih terasa bergitu lelah. Kantuk yang melandaku juga belum sepenuhnya pergi. Rasanya ingin kembali di dekapan sleepingbag. Perlahan ku ambil air mineral yang ku bawa. Ini adalah salah satu kebiasaan ku, menyirami kerongkongan ku sesaat setelah aku terjaga. Menurut ku hanya air yang dapat membantuku segera lepas dari kantuk yang sedari tadi tak kunjung pergi.
Air yang aku bawa terasa lebih segar dari pada air yang sering aku minum di indie kost ku. Mungkin dingin nya merapi yang membuat air ini lebih segar. Apa mungkin aku saja yang terlalu haus ketika bangun tidur. Ah sudahlah rasanya memang menyegarkan air pagi itu.
Pagi digunung memang tidak lengkap jika dinikmati tanpa ada yang disesap untuk menghangatkan. Pilihanku pada pagi hari berbeda dengan malam hari. Di pagi hari aku lebih memilih susu jahe sobek di bandingkan dengan kopi sobek. Susu jahe sobek memang tidak memiliki kofein yang konon katanya bisa menghilangkan kantuk. Tapi susu jahe sobek itu lebih hangat dan nikmat ketika masuk kedalam tubuh. Yang aku rasain sih.
Menyesap yang hangat tidak juga terasa nikmat jika tidak ada orang di dekat. Seperti di indekost ku yang selalu sendiri saat menghabiskan susu jahe sobek. Tapi kali ini ada teman yang menemani. Obrolan kami lepas bagai tidak ada batas, berbagai topik kami bicarakan, apalagi canda yang tidak bisa terlewatkan. Suasana ini memang membuktikan bahwa ketika di gunung tidak ada lagi sandiwara seperti di kota, dan digunung pertemanan terasa jelas dan begitu nyata. Pengalaman ini sangat menakjubkan.
Obrolan kami ditemani dengan pemandangan indah merapi. View gunung merbabu terpampang jelas dari tempat kami mendirikan tenda. Hijaunya merbabu terlihat dengan jelas didepan tenda kami. Kaki gunungnya di hiasi oleh rumah penduduk menjadi seperti lukisan pemandangan yang sulit untuk dilupakan. Bagai memiliki mantra, mata ku tidak ingin lepas saat memandang merbabu yang syahdu.
Pagi hampir terlewat dan matahari sudah mulai naik menuju tahtanya. Aku melihat beberapa teman yang asik saat memenuhi galeri mereka. Tanpa menunggu lama jiwaku yang hampir sama dengan mereka membuatku untuk segera bergabung dengan mereka. Tanpa menunggu lama sudah lebih dari 20 foto yang sudah aku ambil. Memang susah jika melihat pemandangan yang indah, rasa rasanya ingin selalu mengabadikan. Ya walaupun tidak sebagus dengan seorang profesional dalam mengambil gambar.
Seberes mengambil gambar kami segera mengisi perut untuk persiapan summit attack. Menu kali ini adalah menu andalan setiap pendaki yaitu indomie rasa kari ayam spesial. Alasannya karena praktis dibawa, rasanya yang cukup sedap, dan cukup untuk kebutuhan karbo untuk pendakian. Tapi jangan telalu sering membawa makanan andalan ini, lebih baik bawa makanan dengan kandungan protein yang lebih, supaya lebih bertenaga dan kenyang lebih lama.
Tanpa menunggu lama indomie yang sudah masak langsung kami libas tanpa sisa. Aroma mie yang khas membuat kami lebih bernafsu dalam menghabiskannya.
Mengisi perut telah selesai. Hal yang paling di tunggu telah tiba yaitu pendakian menuju pasar bubrah. Yak benar arah azimuth kali ini merupakan titik tertinggi sebelum puncak merapi, Pasar Bubrah.
Sebelum matahari semakin meninggi kami sesegera mungkin melakukan pendakian menuju pasar bubrah. Anehnya di pendakian kali ini kami hanya membawa air mineral 1,5 liter dan baju yang kami kenakan. Persiapan seperti ini sangat tidak di anjurkan, karena di alam kita tidak pernah tau apa yang terjadi dan kita tidak pernah tau apa yang telah menanti kita di depan sana.
Perjalanan kami mulai sekitar pukul 8 pagi, kali ini hanya aku dan 7 anggota tim yang akan menuju pasar bubrah. Dan 3 orang lainnya tinggal di tenda untuk menikmati indahnya merbabu. Pemandangan yang di tawarkan oleh alam merapi pagi itu memang cukup ciamik. Cuaca yang cerah dapat membuat mata terasa tak ingin berkedip melihat indahnya pemandangan yang disajikan.
Kami berangkat dengan sombongnya, melangkahkan kaki tanpa berfikir apa yang akan terjadi. Menurutku dengan persiapan hanya membawa air minum dan baju yang di pakai sudah membuktikan betapa sombongnya kami menghadapi alam merapi.
Pendakian kami lakukan secara perlahan, pelan namun pasti kami terus mendaki. Selama dijalur pendakian indahnya merapi semakin menjadi. Disetiap langkah kami disajikan dengan pohon pohon kokoh nan tinggi, yang dibawahnya terdapat perdu yang begitu lebatnya. Diiringi dengan suara angin yang perlahan membelai dedaunan yang senada dengan nyanyian indah sang burung, perlahan memenuhi hati yang selalu di isi dengan delusi.
Suasana pendakian yang terasa indah ini membuat kami tak sadar bahwa kami telah tiba di pos 1 yang kurang lebih kami tempuh selama 45 menit dari tempat kami mendirikan tenda. Di pos 1 ini terdapat gubuk yang terlihat cukup kokoh, seperti pada shelter 1 yang kami gunakan untuk istirahat malam tadi. Terbuat dari kayu dan beratapkan seperti alumunium sangat cocok digunakan untuk melepas lelah sejenak. Benar saja ada beberapa angota tim yang langsung duduk di gubuk tersebut. Karena pemandangan yang cukup indah juga, aku dan beberapa teman yang memiliki jiwa mengisi galeri langsung mencari posisi yang sedap. Bagaikan seorang detektif yang ulung kami mencari enggel kamera yang mirip dengan banyak pendaki keren di sosial media. Hampir 10 menit kami habiskan untuk memuaskan jiwa kami yang terbilang unik.
Setelah puas dengan mengambil banyak foto kami lanjutkan perjalanan. Dari pos 1 menuju pos 2 masih memiliki track yang cukup mudah untuk kami lewati. Berbeda dengan vegetasi di pos satu, yang semulanya banyak pohon pinus perlahan tergantikan dengan pohon hutan dan memiliki semak yang cukup lebat. Track yang kami lalui terkadang melewati tumpukan semak semak itu. Dan membutuhkan pegangan untuk melalui jalan yang cukup terjal.
Setelah berjalan lebih dari satu jam tibalah kami di pos 2 yang memiliki ketinggian 2400 mdpl. Pendakian ini memang lebih cepat dibandingkan dengan estimasi waktu yang tertera, hal ini jelas terjadi karena kami tidak membawa keril dan beban yang terlalu banyak. Pos dua ini memiliki vegetasi yang di dominasi dengan tumbuhan cantigi. Pohon cantigi ini memang tidak sepopuler saudaranya yaitu edelweis. Padahal pohon cantigi adalah tanaman yang paling sering kita temui di gunung. Ciri yang paling mencolok adalah pada daun yang muda akan berwarna merah. Pohon yang memiliki akar yang dapat mencengkram erat bumi ini, sering di jadikan pegangan saat pendaki sedang dalam keadaan mendaki atau turun. Cantigi juga mempunyai batang yang kuat, serta daun yang dapat dimakan ketika seorang pendaki tersesat. Cantigi sebenarnya telah banyak menolong dan banyak melindungi pendaki, tetapi masih ada saja pendaki yang tidak mengenalnya lebih dalam. Jika ada puisi yang bisa kubuat untuk cantigi mungkin tidak bisa dengan sempurna menggambarkan sang pelindung pendaki.
Di pos 2 ini kami dikejutkan dengan kehadiran penduduk pos dua si monyet ekor panjang. Monyet ini datang dari balik semak di ujung sana. Wajahnya yang abu-abu, dan memiliki jambang kecokelatan membuatnya terlihat sedikit jantan. Badannya yang besar dan terlihat gempal, ditambah dengan ekor yang kokoh dan panjang, membuatnya tampak seperti preman gunung yang siap untuk menghadang mangsanya. Mangsanya itu ya hooman. Kegarangan nya semakin lengkap tatkala mulutnya melemparkan senyum, senyum yang biasanya menawan kali ini berubah menjadi seram, disebabkan oleh taring yang begitu tajam. Itulah yang terkadang membuat para pendaki terutama pendaki perempuan sering takut kala bertemu preman gunung ini. Sepertinya cukup melankolis nya untuk si monyet ekor panjang. Lanjut.
Pos 2 memang banyak sekali hal yang kami temui. Tapi hal yang paling banyak kami lakukan adalah kegiatan kesukaan kami yaitu mengabadikan indahnya merapi. Kami tidak lama di pos 2 sesegera kami lanjutkan perjalanan untuk ke pasar. Karena di pos dua ini cuaca sudah mulai berawan dan menyembunyikan sinar sang mentari.
Perjalanan kami lanjutkan untuk menuju pasar bubrah. Track dari pos dua ke pasar bubrah merupakan track berbatu dan menajak dengan terjal. Terkadang kami juga perlu menggunakan tangan kami untuk melewati terjal nya itu. Disini langkah kami lebih lambat dibandingkan dengan sebelumnya, ditambah dengan kabut yang perlahan mulai turun kejalur pendakian. Batu demi batu telah kami lalui, otot betis mulai mengencang dan menjerit meminta waktu untuk direngangkan.
Kolong langit semakin pekat dengan kabut, putihnya menyebar di seluruh arah mata memandang. Bersamaan dengan itu mulai terasa butiran air yang turun dari langit. Kemudian disusul angin yang semakin lama semakin kencang. Kami belum juga tiba di pasar bubrah, track batu yang semakin terjal dan cuaca yang semakin mencekam membuat salah satu anggota tidak bisa melanjutkan. Melihat perlengkapan kami yang tidak siap ini, kami memutuskan untuk turun sebelum badai tiba. Setelah keputusan bulat kami turun secara perlahan, walaupun pasar bubrah bisa kira jumpai jika berjalan sedikit lagi. Tapi apa yang lebih penting dibandingkan dengan pulang dengan selamat. Toh pasar bubrah tidak akan tutup seperti pasar pasar biasanya. Kami masih bisa mengunjungi lain waktu.
Perjalanan turun kami lakukan dengan cepat, dan selalu berdoa agar selamat sampai tenda kami. Tak dinyana cuaca makin memburuk dan membuat semuanya semakin sulit untuk turun. Dan perlahan kami mulai kehilangan fokus dan mulai mengalami hal yang cukup menakutkan.
Lanjut di part III yak
~agengamri